sumber: edukasi.okezone.com

Kemdikbudristek baru saja mengeluarkan sebuah kebijakan berupa Kurikulum Prototipe yang cukup banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Pada kurikulum ini, siswa SMA kelas XI dan XII tidak diminta untuk memilih jurusan, tetapi langsung memilih mata pelajaran yang ingin mereka pelajari. Terdapat mata pelajaran dasar yang wajib mereka ambil seperti Pancasila, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia. Di luar itu, mereka dapat mengombinasikan mata pelajaran pilihan minimal dari dua bidang yang berbeda. Bidang yang tersedia, yaitu MIPA, sosial humaniora, bahasa dan keterampilan hidup atau life skills. Tepatnya, kurikulum prototipe ini bukan menghapus jurusan yang sudah ada, melainkan sekat yang membatasi antarjurusan.

Kebijakan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Dilansir dari medcom.id, Indra Charismiadji, pemerhati pendidikan Indonesia, menyampaikan bahwa penghapusan jurusan IPA dan IPS bukanlah hal yang baru. Indra melayangkan kritik terhadap Kemdikbudristek dengan menyatakan bahwa kebijakan ini menunjukkan pejabat-pejabat yang bersangkutan tidak pernah membaca regulasi yang ada. Sementara itu, pendapat pro disampaikan oleh pemerhati pendidikan Indonesia lainnya, yaitu Ina Liem. Dilansir dari Voa Indonesia, Ina mengatakan bahwa untuk memecahkan masalah yang ada kedepannya dibutuhkan multidisiplin ilmu. Oleh karena itu, keseimbangan dalam belajar harus diperhatikan, seperti anak IPA tetap memiliki wawasan sosial, sementara anak IPS tetap harus terbiasa mengolah angka.

Masalah baru juga bisa muncul karena dengan menerapkan Kurikulum Prototipe ini, siswa yang belum memiliki gambaran yang jelas akan karier yang ingin ditempuh akan semakin bingung. Namun, dilihat dari sisi positifnya, banyak dampak baik yang juga bisa timbul. Salah satunya, yaitu dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa karena siswa tidak perlu lagi memaksakan diri untuk mempelajari mata pelajaran yang ia rasa sulit atau tidak diminati sama sekali dan dapat fokus pada mata pelajaran yang dapat menunjang dirinya dalam memilih karier tertentu. 

Kurikulum Prototipe ini bersifat opsional dan dapat digunakan oleh satuan pendidikan yang berminat menerapkannya. Setelah itu, akan ada proses verifikasi apakah sekolah tersebut benar-benar siap menerapkan kurikulum ini. Apabila terlihat belum siap secara menyeluruh, akan diberlakukan pengarahan lebih lanjut untuk mematangkan persiapannya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena ketidaksiapan ekosistem dan perbedaan mindset pengajar terhadap suatu kurikulum akan berdampak besar terhadap proses pembelajaran nantinya. Apabila dieksekusi dengan tepat, Kurikulum Prototipe ini dapat menjadi langkah awal yang baik dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.